MENGENAL CARA AHLUL BID’AH DALAM BERARGUMENTASI
đ#MENGENAL CARA AHLUL BIDâAH DALAM BERARGUMENTASI
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Pedoman melihat kelompok-kelompok ahlul bid’ah tersebut, yaitu:
[1]. Mereka Bersandar Kepada Hadist-Hadist Lemah.
Hadist-hadist yang lemah sanadnya besar kemungkinan tidak diucapkan oleh Nabi. Jadi tidak mungkin suatu hukum didasarkan kepada hadist-hadist seperti itu. Bagaimana bila hadist-hadist yang mereka jadikan hujjah telah dikenal dusta?
[2]. Mereka Menolak Hadist-Hadist (Shahih), Yang Tidak Sejalan Dengan Tujuan Dan Madzhab Mereka. Mereka mengatakan bahwa (hadist-hadist) seperti itu menyelisihi akal, tidak mengacu kepada maksud suatu dalil, maka harus ditolak.
[3]. Mereka Menerka-Nerka Maksud Perkataan Yang Ada Dalam Al-Qurâan Dan Sunnah Yang Berbahasa Arab.
Mereka menerka-nerka maksud perkataan yang ada dalam Al-Qurâan dan Sunnah yang berbahasa Arab, padahal mereka tidak memiliki ilmu bahasa Arab yang cukup untuk memahami apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu. Akhirnya mereka membuat kebatilan terhadap syariâat dengan pemahaman dan cara mereka, menyelisihi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka lakukan hal itu tidak lain karena berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri dan berkeyakinan bahwa mereka termasuk golongan ahli ijtihad yang berhak menetapkan hukum, padahal realitanya mereka bukan termasuk golongan tersebut.
[4]. Mereka Menyeleweng Dari Prinsip-Prinsip Agama Yang Telah Jelas Dan Mengikuti Perkara-Perkara Yang Samar (Mutasyabihat) Yang Mungkin Diperselisihkan Oleh Akal Masing-Masing Orang Para ulama telah menetapkan bahwa setiap dalil yang didalamnya mengandung kesamaran dan kesulitan, pada hakekatnya bukanlah dalil, sampai menjadi jelas maknanya dan terang apa yang dimaksud. Karena hakekat sebuah dalil adalah keadaan dzanya sendiri harus jelas dan bisa (secara jelas pula) menunjukkan kepada sesuatu yang lain. Jika tidak demikian berarti masih membutuhkan dalil lagi. Lalu jika dalil tersebut menunjukkan akan ketidak shahihannya (sebagai Sebuah Dalil) berarti tidak layak untuk dikatakan sebagai dalil. Sumber kekeliruan mereka dalam hal ini tidak lain adalah kebodohan mereka tentang maksud-maksud syariâat dan tidak mau memadukan dalil-dalil syarâI satu dengan lainnya. Kerena menurut orang-orang yang mendalam ilmunya, dalam mengambil dalil-dalil syarâi haruslah secara utuh dan memenuhi kaidah-kaidah syarâi.
[5]. Menyimpangkan Dalil-Dalil Dari Arti Yang Sebenarnya Bila ada dalil yang membahas perkara tertentu, (mereka) palingkan dari perkara tersebut kepada perkara lain dengan anggapan bahwa dua perkara itu sama.
[6]. Ada Diantara Mereka Yang Menetapkan Perkara-Perkara Syarâi Berdasarkan Takwil Yang Tidak Bisa Diterima Akal.
Mereka mendakwakan (hasil penetapannya itu) bahwa itulah yang dimaksud dan yang diinginkan oleh syariâat. Sementara mereka tidak (memahami dalil-dalil syarâI) seperti yang dipahami oleh orang Arab.
Mereka berkata: âSetiap apa yang terdapat dalam syariâat, baik menyangkut hal-hal yang harus dilakukan oleh manusia, masalah dikumpulkannya manusia dan membeberkannya amalan-amalan mereka (pada hari kiamat), serta perkara-perkara yang terkait dengan penyembahan (kepada Allah), maka itu adalah contoh-contoh urusan yang ghaib.â
[7]. Berlebihan Dalam Mengangungkan Guru-Guru Mereka Mereka mendudukkan guru-guru mereka itu pada tempat yang tidak selayaknya.
Kalau tidak karena berlebih-lebihan dalam beragama, berlebihan membela madzhab, dan berlebihan dalam mencintai pelaku bidâah, tentu tidak akan ada pada pikiran seseorang untuk mengagungkan guru seperti itu. Akan tetapi Rasulullah telah bersabda. âArtinya : Sungguh kalian akan mengikuti jalannya orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehastaâ [HR.Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669 dan yang lainnya dari hadist Abu Saâid Al-Khudri]
Jadi, mereka itu berlebih-lebihan (terhadap guru-guru mereka) seperti halnya orang-orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap âIsa bin Maryam, yang berkata, âSesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih Ibnu Maryamâ. Maka, Allah berfirman: âArtinya : Katakanlah (Wahai Muhammad), âWahai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama kalian dengan cara yang tidak benar.
Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sejak dahulu telah sesat (sebelum kedatangan Muhammad) ; dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurusâ [Al-Maâidah : 77]
Rasulullah Bersabda: âArtinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan (memuji)ku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan (memuji) âIsa Putera Maryam, tetapi katakanlah : (Aku ini) Hamba Allah dan Rasul-Nyaâ. [HR. Bukhari no. 6830 dari Umar bin Al-Khathab]
[8]. Berhujjah Dengan Mimpi-Mimpi Hujjah yang paling lemah adalah hujjah suatu kaum yang menyandarkan kepada mimpi-mimpi untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu amalan.
[Muhtashar Al-Iâtisham, Peringkas Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf, Penulis Abu Ishaq Ibrahim bin Musa ASy-Syathibi, Hal.63-66]
Wallaahu a’lam bishowab
Tinggalkan Balasan